SUHU PERMUKAAN LAUT PERAIRAN INDONESIA
DAN HUBUNGANNYA DENGAN PEMANASAN GLOBAL
Nama
Kelompok :
KETUA
Gillang
Fernando E1I012055
ANGGOTA
1. Junita
Purnama E1I014034
2. Wahyu
Gustina E1I0140
DOSEN
PENGAMPU
Yar Johan,S.Pi.,M.Si
ILMU
KELAUTAN
JURUSAN
PETERNAKAN
UNIVERSITAS
BENGKULU
2016
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pemanasan
Global atau Global Warming adalah suatu istilah yang menunjukkan pada
peningkatan suhu rata-rata di atas permukaan bumi. Suhu udara rata-rata
permukaan bumi meningkat sekitar 0,74°C dalam 100 tahun terakhir. Banyak ahli
memperkirakan bahwa suhu rata-rata akan naik bertambah dari 1,4°C sampai dengan
5,8°C sampai tahun 2100.
Sumber
energi utama dari semua kehidupan di bumi adalah matahari yang memancarkan
radiasinya menembus lapisan atmosfer bumi dalam bentuk gelombang pendek.
Radiasi tersebut akan dipantulkan kembali ke angkasa dalam bentuk gelombang
panjang, sebagian gelombang tersebut diserap oleh gas rumah kaca, yaitu CO2, CH
4, N2O, HFCs dan SF4 yang berada di atmosfer. Akibatnya gelombang panjang yang
bersifat panas tersebut terperangkap di dalam atmosfer bumi. Peristiwa ini
terjadi berulang - ulang, sehingga menyebabkan suhu rata-rata di permukaan bumi
meningkat. Peristiwa inilah yang disebut dengan pemanasan global.
Beberapa
aktivitas manusia yang ditengarai dapat menyebabkan pemanasan global misalnya
perambahan yang mengakibatkan kerusakan hutan. Salah satu fungsi tumbuhan yaitu
menyerap karbondioksida (CO2), yang merupakan salah satu dari gas rumah kaca,
dan mengubahnya menjadi oksigen (O2). Kemudian, sampah menghasilkan gas metana
(CH4). Diperkirakan 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana (Sudarman,
2010). Dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia, diperkirakan pada 2020 sampah
yang dihasilkan mencapai 500 juta kg/hari atau 190 ribu ton/tahun. Dengan
jumlah ini maka sampah akan mengemisikan gas metana sebesar 9.500 ton/tahun.
Sektor pertanian dan peternakan juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan
emisi gas rumah kaca melalui pemanfaatan pupuk serta praktek pertanian,
pembakaran sisa-sisa tanaman, dan pembusukan. sisa-sisa pertanian,
serta pembusukan kotoran ternak. Dari sektor ini gas rumah
kaca yang dihasilkan berupa gas metana
(CH4) dan gas
dinitro oksida (N20). Di
Indonesia, sektor pertanian dan peternakan menyumbang emisi gas rumah kaca
sebesar 8,05% dari total gas rumah kaca yang diemisikan ke atmosfer. (Sudarman, 2010)
Dampak yang
paling nyata dari pemanasan global sampai saat ini adalah perubahan iklim.
Pemanasan global telah meningkatkan
terjadinya kekeringan secara global,
gelombang panas, dan
frekuensi terjadinya badai tropis.
Kenaikan suhu global
akan menyebabkan mencairnya es di kutub utara dan selatan, sehingga
mengakibatkan terjadinya pemuaian massa air laut, dan kenaikan permukaan air
laut. Pemanasan global juga akan
menyebabkan pergeseran musim sebagai
akibat dari adanya
perubahan pola curah hujan.
Perubahan iklim mengakibatkan
intensitas hujan yang tinggi
pada periode yang
singkat serta musim kemarau
yang panjang. Kedua
peristiwa tersebut akan menimbulkan dampak pada beberapa sektor. Pada
akhirnya perubahan iklim berakibat pada pergeseran musim dan perubahan pola
curah hujan dan akan mempengaruhi ketahanan pangan nasional.( Sudarman,2010)
Penulis
mengambil penelitian ini karena beberapa tulisan mengenai suhu permukaan laut
sudah banyak dilakukan, akan tetapi hanya mencakup satu daerah dan dalam jangka
waktu yang singat, maka peneliti menganalisis spasial secara luas mencakup
seluruh perairan wilayah Indonesia dn temporal dalam waktu yang panjang.
1.2
Tujuan
melihat seberapa besar kenaikan/penurunan suhu
permukaan laut (SPL) khususnya di perairan Indonesia.
II.
METODE
2.1
Lokasi
Penelitian
Gambar
1. Lokasi Fokus Penelitian
Lokasi
penelitian seluruh perairan Indonesia lebih detil difokuskan pada perairan yang
lebih luas yaitu Samudera Hindia, Samudera Pasifik bagian barat dan Laut Cina
Selatan, mengingat perubahan SPL untuk wilayah ini akan memberikan pengaruh
yang besar bagi wilayah sekitarnya.
2.2
Bahan
Penelitian
Kedua jurnal yang kami ambil menggunakan bahan
penilitian yang sama. Pengukuran dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Langsung
Pengukuran
dengan menggunakan thermometer, akan tetapi cara ini kurang efektif, karena
membutuhkan waktu yang lama, biaya yang besar untuk mendatangi semua titik
penelitian seluruh wilayah perairan Indonesia, tenaga yang besar dan mempunyai
tingkt error data yang tinggi. (syaefullah, 2010)
2. Tidak langsung
Menggunakan
sensor satelit (citra satelit). Citra satelit diunduh dari situs :
http://rda.ucar.edu/datasets/ ds277.0/ dalam bentuk grid format ASCII time
series selama rentang 32 tahun (1982 – 2014) dengan skala spasial 1o
x 1o geografis dan skala temporal mingguan. Citra Satelit yang
digunakan adalah citra NOAA. Cara ini memiliki keunggulan yaitu data SPL
seluruh wilayah perairan Indonesia dapat didapatkan dalam waktu yang singkat
sekaligus dan update secara time series. Akan tetapi cara ini juga memiliki
kelemahan yaitu tidak semua peneliti yang mengangkat tema SPL mengerti dan
dapat mengakses citra satelit tersebut. (Emiyati,
2010)
2.3
Pengolahan
Data
Gambar 2. Sript pengunduhan file SPL
(script download) digunakan untuk mengunduh secara otomatis dan melakukan updating
data secara rutin setiap minggunya.
Program Fortran telah dikembangkan
dari Moin (2012) untuk membaca file SPL mingguan perairan Indonesia secara
spasial setiap gridnya, secara temporal selama 32 tahun setiap minggu selama 53
minggu (proses a). Program Turbo Pascal untuk menggabungkan data SPL mingguan
menjadi satu file untuk masing masing grid. Karena masing-masing grid dan tahun
berupa file terpisah maka diperlukan program untuk menggabungkan file mingguan
selama 32 tahun menjadi satu file untuk setiap grid-nya (proses b). Program
Turbo Pascal untuk membaca file mingguan menjadi data bulanan (proses c).
Setelah satu grid mempunyai satu file (mingguan) maka dibuat file bulanan dari
data mingguan (rerata). Script pengunduhan SPL dari NOAA ditulis dengan c-shel
di sistem operasi linux. Sebelum menjalankan script ini perlu ada aplikasi unduh
otomatis bernama wget.
File SPL berupa satu file untuk setiap
tahunnya sehingga program Fortran akan membuat sekitar 50.750 buah file (1.586
grid x 32 tahun). Prosesnya adalah, pertama menggabungkan data SPL mingguan menjadi
satu file. Setelah file mingguan dibuat, kemudian dibuat data bulanan dengan
melakukan rerata bulanan untuk masing-masing grid selama 32 tahun. Setelah diperoleh
data bulanan kemudian dibuat anomalinya dengan cara dikurangi terhadap nilai
historisnya (proses d). Nilai historis dihitung dari rerata selama 32 tahun.
Setelah diperoleh nilai anomali bulanan untuk setiap gridnya, kemudian dihitung
nilai kemiringan (slope) untuk setiap grid (proses e).
Hasil pemrosesan ditampilkan dengan
perangkat lunak Golden Software SURFER versi 11, setelah merubah format nilai
slope sesuai dengan format surfer. Pengolahan berikutnya dilakukan menggunakan perangkat
Microsoft Excel untuk menyusun time series anomali SPL dan melihat tren atau
kecenderungannya.
2.4
Analisis
Data
Analisis dilakukan dengan dua cara yaitu analisis
temporal dan analisis spasial. Analisis temporal untuk melihat tren dari
anomali suhu permukaan laut rerata beberapa wilayah tertentu.
Analisis
Temporal Anomali SPL
Analisis temporal dilakukan di empat wilayah perairan
di Indonesia dengan asumsi keempat wilayah tersebut memiliki karasteristik suhu
permukaan laut yang mempengaruhi kondisi cuaca dan iklim di beberapa tempat di
wilayah Indonesia. Keempat wilayah tersebut adalah perairan Selatan Jawa,
perairan Barat Sumatera, Laut Cina Selatan dan
perairan Utara Papua lihat (gambar 3) Analisis
temporal tersebut dilakukan terhadap empat rerata triwulan yaitu, September -
Oktober - November (SON), Desember - Januari – Februari (DJF), Maret - April -
Mei (MAM) dan Juni - Juli - Agustus (JJA). Hasil rerata keempattriwulan
tersebut kemudian di plot secara time seriesdan dicari. (Aldrian, 2003).
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perairan Selatan Jawa
Gambar 3. Analisis Slope untuk
perairan selatan jawa pada bulan-bulan SON, DJF, MAM, dan JJA.
Perairan selatan Jawa dalam studi kasus ini adalah
bagian timur Samudera Hindia dibatasi koordinat 15o LS ~ 10o LU dan 105o ~ 120o BT. Hasilnya disajikan pada (Gambar 4) Hasil analisis daerah tersebut
menunjukkan untuk bulan-bulan SON mempunyai nilai slope =+0,0428, DJF
slope=+0,0353, MAM slope =+0,0193 dan JJA slope=+0,0294. Secara umum wilayah
ini mengalami peningkatan SPL selama lebih dari 32 tahun terakhir. Pada musim
basah (SON dan DJF) nilai peningkatan SPL relatif lebih besar dibandingkan pada musim kering (MMA dan JJA).
Perairan
Barat Sumatera
Gambar 4. Analisis Slope untuk
perairan Barat Sumatera pada bulan-bulan SON, DJF, MAM, dan JJA.
Perairan barat Sumatera yang juga merupakan bagian Samudera
Hindia dibatasi oleh
koordinat Ekuator ~ 08o LS dan 90o ~ 100o
BT. Hasilnya dapat di lihat (gambar 5)
analisis daerah tersebut menunjukkan untuk bulan-bulan SON mempunyai
nilai slope =+0,0736, DJF dengan Slope =+0,0321, MAM dengan slope =+0,0406 dan
JJA dengan slope =+0,0058. Secara umum,
wilayah ini mengalami peningkatan SPL selama lebih dari
32 tahun terakhir.
Laut Cina
selatan
Gambar 5. Analisis Slope untuk
perairan Laut Cina Selatan pada bulan-bulan SON, DJF, MAM, dan JJA.
Hasil analisis lihat (gambar 6) untuk wilayah Laut Cina
Selatan menunjukkan untuk
bulan-bulan SON mempunyai nilai slope =+0,0283, DJF dengan slope
=+0,0143, MAM dengan slope=+0,0109 dan JJA
dengan slope =+0,001. Secara umum
wilayah ini mengalami peningkatan
SPL yang lebih
rendah dibandingkan dua wilayah sebelumnya. Pada musim basah (SON
dan DJF) nilai
peningkatan SPL relatif lebih
besar dibandingkan pada
musim kering (MMA dan JJA) yang hampir tidak mengalami
peningkatan.
Laut
Utara Papua
Gambar 6. Analisis Slope untuk
perairan Utara Papua pada bulan-bulan SON, DJF, MAM, dan JJA.
wilayah ini menunjukkan bulan-bulan
SON mempunyai nilai slope =+0,1788, DJF dengan
slope =+0,0957, MAM dengan slope =+0,1305 dan JJA dengan slope=+0,0891. Secara umum
wilayah ini mengalami peningkatan SPL
yang paling besar
dibandingkan dengan wilayah lain yang dijadikan studi kasus.Nilai slope
di wilayah ini adalah nilai slope yang tertinggi dibandingkan
dengan wilayah lain.
Dengan kondisi bahwa perairan sebelah Utara Papua adalah bagian lautan
luas (samudera) sehingga mempunyai jumlah kapasitas panas yang lebih besar,
maka kenaikan nilai slope ini diperkirakan akan mempengaruhi kondisi iklim di
wilayah Indonesia terutama bagian timur.
Analisis Spasial Anomali
SPL
Lihat pada gambar 7 adalah contoh peta anomali SPL wilayah
Indonesia pada minggu pertama Januari 2012 dan minggu kedua Januari 2012. Warna
merah menunjukkan nilai anomali positif yang artinya suhu permukaan laut saat
itu lebih tinggi (panas) dibandingkan dengan suhu reratanya (historis), sedangkan
warna biru menunjukkan sebaliknya
(anomali negatif).
Gambar 7. Peta Anomali SPL Bulan Januari 2012 (minggu ke-1 (atas) dan minggu ke-2 (bawah).
Analisis Spasial Slope
SPL
Gambar 8. Citra
analisis slope nilai SPL perairan Indonesia Maret-April-Mei (MAM) dan
Juni-Juli-Agustus (JJA), (atas) dan untuk September-Oktober-November (SON) dan
Desember-Januari-Februari (DJF) (bawah), Cat Warna merah adalah slope
positif sebaliknya warna biru adalah slope negatif.
Terlihat pada (gambar 8) adanya variasi
spasial nilai slope positif dan negatif. Secara umum, wilayah yang mengalami
peningkatan SPL dengan nilai slope positif adalah perairan sebelah utara Papua,
Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera sebagian Laut Jawa, dan di sekitar Laut
Banda. Sedangkan di Laut Cina Selatan, perairan selatan Jawa relatif konstan
dan cenderung mengalami penurunan SPL meskipun sangat kecil. Dilihat dari nilai
slope-nya perairan Samudera Pasifik di utara Papua merupakan wilayah yang
tertinggi dibandingkan dengan wilayah lain.
Pengamatan yang secara spasial
menunjukkan daerah-daerah dimana terjadi penurunan SPL (nilai slope negatif)
meskipun sangat kecil, terutama di wilayah Laut Cina Selatan dan perairan
Selatan Jawa. Hal ini tidak terlihat secara nyata pada analisis temporal anomali
SPL karena dalam analisis tersebut dilakukan pererataan wilayah dari daerah
yang dianalisis. (Syaifullah, 2010)
Data yang di dapat dari jurnal ini
sudah lengkap, akan tetapi hasil dari penelitian tidak terlalu rinci, hanya
menampilkan beberapa wilayah perairan laut yang luas saja. Dengan jurnal
pendukung yang kami dapatkan menampilkan hasil perubahan suhu permukaan laut
se-Indonesia per Daerah yang disebabkan oleh pemanasan global.
Selain dari perubahan suhu permukaan
laut, pemanasan global juga berdampak terhadap peradaban kehidupan di bumi,
termasuk mencairnya es di kutub, perubahan iklim global
IV. KESIMPULAN
1. Nilai slope yang dianalisis untuk keempat wilayah
adalah positif. Nilai slope di wilayah Utara Papua merupakan yang tertinggi
dibandingkan dengan wilayah lain.
2. Secara spasial, selama 32 tahun telah terjadi
peningkatan suhu permukaan laut di wilayah Indonesia yang bervariasi.
3. Secara umum dapat dilihat bahwa anomali SPL di wilayah
Indonesia terbagi menjadi anomali positif dan negatif yang terpisah di belahan
bumi bagian selatan dan belahan bumi bagian utara.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian
E & Susanto R. D. 2003 . Identifikasi tentang tiga wilayah hujan yang dominan
di Indonesia dan hubungannya dengan suhu permukaan laut, Jurnal Internasional
tentang iklim, Vol. 23, No 12, pp.1435-1452,doi 10.1002/joc.950
Emiyati,
Setiawan, K. T., Manopo, A. KS., Budhiman, S & Hasyim, B. 2010. Analisis
Multitemporal Sebaran Suhu Permukaan Laut di Perairan Lombok Menggunakan Data
Penginderaan Jauh NOAA, Seminar Nasional Penginderaan Jauh LAPAN.
Sudarman.
2010 . Meminimalkan Daya Dukung Sampah Terhadap Pemanasan Global Profesional,
Vol.8, No.1, Mei 2010, ISSN 1693-3745
Syaifullah,
D. 2010 . Analisis Suhu permukaan laut Analisis
Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia...Pemanasan Global (Syaifullah, M. D.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar